So, ada 10 stasiun yang harus dilewati. 8 stasiun ujian, dan 2 stasiun untuk menunggu. Ternyata nggak seserem yang dibayangkan sih.Saya hanya harus memperagakan, yang sudah pernah saya lakukan sebelumnya di FKG. Saya nggak bakal ngebahas satu persatu dan apa aja yang dilakuin. Saya cuma sedikit memberi tanggapan mengenai tryout hari ke-2 secara keseluruhan.
Menurut saya UKDGI dalam bentuk OSCE tidak terlalu urgent untuk dilaksanakan. Kenapa?
1. Menghabiskan waktu, tenaga dan uang.
Sekali putaran membutuhkan waktu 110 menit untuk 10 orang peserta. Apabila lulusan berjumlah 100 orang. It will take about 1100 menit alias 18 jam. Menghabiskan tenaga karena dalam satu hari, peserta harus hadir dan pulang bersama-sama. Dari ujicoba yang dilaksanakan kemarin, peserta harus datang pukul 06.30 pagi dan harus tetap standby hingga seluruh peserta selesai diuji, yaitu pukul 14.30 sore (9 jam), fyi kemarin hanya terdapat 3 gelombang. Berati peserta wajib menunggu selama 7 jam (9jam - 2jam ujian) tanpa melakukan apapun (peserta tidak diperbolehkan membawa apapun saat ujian berlangsung). SDM yang dibutuhkan juga cukup banyak, terdapat 8 dosen yang harus standby sebagai penguji, lalu ada team dosen sebagai panitia, butuh menghire orang sebagai pasien peraga (orang yang berakting sebagai pasien), belum lagi staf lain yang membantu. Kegiatan ini juga tentunya menghabiskan banyak uang. Kabarnya, untuk mengikuti UKDGI, peserta akan dikenakan biaya kira2 sebesar Rp 1.200.000,-. Tentunya biaya tersebut akan dipergunakan untuk administrasi, logistik, dll untuk penyelenggaraan UKDGI. Namun saya rasa ada unsur ke-mubazir-an dalam penyelenggaraan OSCE, contohnya penggunaan handscoon dan masker di beberapa stasiun yang langsung dibuang padahal kondisinya tidak kotor dan terkontaminasi. Bukankah hal yang mubadzir itu tidak baik?
2. Sudah ada klinik dan ujian profesi
Sebelum dinyatakan lulus dari Fakultas Kedokteran Gigi, mahasiswa Kedokteran Gigi telah melewati tahapan klinik dan ujian profesi. Pada tahapan tersebut, juga dilakukan penilaian pada mahasiswa baik itu dari segi skill, knowledge dan atitude. Bahkan penilaiannya bersifat lebih personal dan mendalam. Apabila mahasiswa telah dapat melewati tahapan tersebut, tentunya mahasiswa sudah memenuhi kriteria dan memiliki kualifikasi yang dibutuhkan untuk menjadi seorang dokter gigi. See?
Memang ujian kompetensi bertujuan untuk menyeragamkan atau melakukan standarisasi kompetensi yang harus dimiliki seorang dokter gigi di Indonesia. Namun, apabila Institusi penyelenggara pendidikan Kedokteran Gigi sudah terakreditasi dan menyelenggarakan pendidikan dengan kualitas yang baik, saya rasa hal ini tidak terlalu dibutuhkan, karena tentunya lulusan yang dihasilkan juga akan baik. Saya sangat setuju ketika salah satu dosen saya berkata bahwa yang harus dibenahi sebenarnya institusi penyelenggara pendidikan. Apabila suatu institusi memang tidak/belum layak menyelenggarakan pendidikan kedokteran gigi jangan dipaksakan dan diberi ijin.
Intinya adalah untuk menghasilkan dokter gigi yang baik, tentunya dibutuhkan sistem pendidikan, serta sarana dan prasarana yang baik. Tanpa adanya ujian kompetensi pun, apabila pendidikan telah diselenggarakan dengan baik, dan profesional, dokter gigi yang dihasilkan pun akan memiliki kualitas yang baik pula. Jadi yang harus dievaluasi, diperhatikan dan ditingkatkan standar mutunya adalah pendidikan yang diselenggarakan di masing-masing Institusi pendidikan dokter gigi.
So, apakah UKDGI khususnya OSCE benar-benar urgent untuk dilaksanakan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar